Minggu, 13 Desember 2015

Keterbacaan, hal yang perlu diketahui dalam membaca


Keterbacaan 
 
      • Pengertian Keterbacaan
Keterbacaan berasal dari kata “Readability” yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan adalah hal tentang terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tigkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesulitan atau kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, dipergunakan berbagai formula keterbacaan. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu.
Muslich (2010:85) menyatakan bahwa keterbacaan adalah tingkat kemudahan suatu tulisan untuk dipahami maksudnya. Menurutnya, keterbacaan berkaitan dengan pemahaman. Bacaan yang memenuhi kesesuaian keterbacaan ialah bacaan yang dapat dipahami oleh pembaca. Bacaan yang tidak bisa atau sulit dipahami pembaca merupakan bacaan yang tidak memenuhi kesesuaian keterbacan. Bacaan yang terlalu mudah dipahami pembaca juga merupakan bacaan yang tidak memenuhi kesesuaian keterbacan.
Tampubolon (1990:213) menyatakan bahwa keterbacaan ialah sesuai atau tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. Dikatakan sesuai jika bacaannya tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah atau sedang. Dikatakan tidak sesuai jika bacaannya sukar atau mudah. Jika bacaan terlalu sukar, pembaca terpaksa membaca dengan lambat, bahkan berulang-ulang untuk memahami bacaan yang dibaca. Ia akan tidak sabar, malas, bahkan frustasi sehingga tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Sebaliknya, bacaan yang terlalu mudah akan membuat pembaca bosan atau meremehkan karena tidak ada tantangan, merasa tidak berguna, dan atau merasa sudah bisa atau tahu.
Beberapa pendapat di atas mempunyai perbedaan dan persamaan. Perbedaannya adalah Harjasujana, Mulyati, dan Tampubolon memandang keterbacaan dari unsur bentuk dan isi, sedangkan Muslich dari unsur isi. Bacaan merupakan wujud dari bahasa yang berbentuk tulis yang mempunyai dua unsur, yaitu bentuk dan isi. Unsur bentuk berupa struktur bahasa yang digunakan dalam bacaan, sedangkan unsur isi berupa makna atau maksud yang terkandung dalan struktur bahasa. Persamaan ketiganya adalah keterbacaan merupakan kajian mengenai tingkat kesesuaian bacaan dan pembaca.
      • Prinsip-prinsip Keterbacaan
Para ahli telah menawarkan berbagai cara atau rumus untuk mengukur keterbacaan, misalnya dengan Rumus Spache, Smog, dan tes kloz. Namun, cara-cara yang digunakan para ahli belum ada yang memuaskan. Faktor yang dipertimbangkan dalam mengukur keterbacaan antara lain struktur bahasa (kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana), jenis isi bacaan, tipografi, dan minat pembaca. Cara yang umumnya dipakai untuk mengukur keterbacaan adalah dari segi struktur bahasa dan jenis isi bacaan. Struktur bahasa dengan formula keterbacaan, sedangkan jenis isi bacaan dengan tes klos atau tes rumpang.
Secara praktis, kaidah-ibu-jari (rule-of-thumb) dapat dipergunakan untuk menentukan keterbacaan sebuah teks. Menurut kaidah ini, secara umum keterbacaan dapat diketahui dari jawaban atas tiga pertanyaan yang diajukan. Ketiga pertanyaan tersebut adalah apakah kata-kata dalam bacaan mudah atau sukar, apakah kalimat-kalimat dalam bacaan sederhana atau kompleks, apakah isi bacaan menarik hati pembaca atau tidak. Jika jawaban pembaca sukar, kompleks, dan tidak, secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat keterbacaan bacaan tinggi karena bacaan sulit dibaca. Jika jawabannya mudah, sederhana, dan ya, secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat keterbacaan bacaan rendah karena bacaan mudah dibaca. Bacaan yang sesuai adalah bacaan yang kata-kata dalam bacaan tidak mudah dan tidak sukar (sedang), kalimat-kalimat dalam bacaan tidak sederhana atau kompleks, dan isi bacaan diantara menarik hati pembaca atau tidak.


Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah menceritakan tentang upaya Talmudist pada tahun 1900 berkenaan tentang keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan. Wacana dikatakan sulit jika wacana tersebut tersusun atas kata-kata yang jarang digunakan, sedangkan wacana dikatakan mudah jika wacana tersebut tersusun atas kata-kata yang sering digunakan.
Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor diantaranya dinyatakan signifikan.
Cara lain yang banyak digunakan para ahli untuk memperkirakan tingkat keterbacaan formula keterbacaan. Selain formula keterbacaan, keterbacaan dapat ukur dengan teknik uji rumpang. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat keterbacaan bacaan berguna bagi guru atau dosen yang mempunyai perhatian terhadap metode pemberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku dan bahan bacaan. Teknik ini dapat digunakan untuk melatih kemampuan baca mahasiswa. Tentu saja akan lebih baik, jika mahasiswa meminta bantuan temannya untuk menjamin keobjektifan dan keterpercayaan penggunaan latihan dengan menggunakan prosedur teknik/teknik ini.
      • Formula keterbacaan
Formula keterbacaan digunakan untuk mengukur keterbacaan bacaan bertolok ukur pada faktor panjang pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata. Berikut ini beberapa formula keterbatasan
  1. Formula keterbacaan Space tahun 1933
Digunakan untuk mengukur bahan bacaan di kelas rendah (kelas 1, 2, 3 SD)
  1. Formula keterbacaan Dale danChall tahun 1947
Digunakan di kelas 4 sampai kelas 6 SD
  1. Formula keterbacaan Grafik Fry dan Raygor, kedua grafik tersebut merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan mengefisienkan teknik penentu tingkat keterbacaan wacana. Faktor panjang pendek kalimat dan kata – kata sulit masih digunakan. Namun, ada perbedaan yaitu grafik Fry kata sulit ditentukan dari jumlah suku kata, sedangkan grafik Raygor ditentukan dengan jumlah huruf yang membentuk sebuah kata.
- Aplikasi keterbacaan dalam pembelajaran membaca
- keterbatasan formula keterbacaan
  1. Masih mengukur pada aspek mekanik (visual) atau aspek bentuk pada wacana, belum mengukur aspek konseptual atau makna wacana.
  2. Penggunaan slank, satir, makna ganda atau minat pembaca. Fomula keterbacaan tidak bisa digunakan untuk bacaan fiksi atau karya sastra.
  • Kaitan keterbacaan dengan penyedian bahan ajar membaca
  1. Dalam proses pembelajaran buku teks (pelajaran) dan bahan ajar mempunyai peran yang penting bagi siswa dan guru.
  2. Tingkat keterbacaan wacana dapat diukur dengan menggunakan formula keterbacaan (grafik Fry dan Raygor). Formula tersebut terkait dengan upaya guru dalam memperkirakan tingkat kesulitan wacana.
  • Mengubah tingkat keterbacaan wacana
  1. Cara menurunkan tingkat keterbacaan wacana adalah dengan cara memperpendek kalimat dan mengganti kata sulit dengan kata yang lebih mudah.
  2. Cara menaikkan tingkat keterbacaan wacana berlawanan dengan cara menurunkan tngkat keterbacaan wacana. Menaikkan tingkat keterbacaan wacana dengan cara memperpanjang kalimat dan mengganti kata – kata yang mudah dengan kata yang lebih sulit.

1 komentar: